Sisi Jenaka Customer Service
Hai semua, kali ini saya mau ngobrolin soal rupa-rupa pengalaman terkait pelayanan yang diberikan mbak-mbak maupun mas-mas di lini customer service atau pelayanan pelanggan.
Ini bukan obrolan serius dan bukan nyinyir juga, saya cuma mau ngebahas serba serbi jenis layanan pelanggan sesuai fakta yang pernah saya alami, that’s it. Konon tipikal orang Indonesia pada umumnya dikenal ramah di mata orang bule. Namun, menurut saya pada kenyataannya masih banyak hal-hal yang kudu dibenahi, khususnya terkait sistem pelayanan terhadap para konsumen atau pelanggan. Mayoritas orang Indonesia memang ramah dan murah senyum. Namun dalam aspek pelayanan terhadap konsumen atau pelanggan butuh lebih dari sekedar senyum manis hehehe.
sumber: Pixabay |
Customer Service Butuh Credit
Point
Rasanya, setiap orang pernah mengalami kejadian yang
mungkin kurang menggenakkan, kurang pas, atau mungkin justru pengalaman buruk
saat berhubungan dengan pihak-pihak di lini customer service. Saya sendiri
relatif sering mengalami hal-hal lucu terkait hal ini. Misalnya suatu hari saya
pernah pesan makanan
di counter sebuah bioskop. Ceritanya
begini, secara saya berpikir positif, saya hanya bilang pesan popcorn 1 box, tanpa menyebutkan ukurannya. Staf customer service tau-tau memberikan box popcorn
yang relatif besar, tanpa ba bi bu. Ealah ndelalah kok pas mau bayar, saya ditagih
hampir 3 kali lipat dari
harga normal karena
ternyata ukuran box
popcornnya
jumbo. Sebenarnya dalam hati saya ada rasa curiga, saya mikir sepertinya ini cara staf tsb
supaya dapat
credit (nilai tambah) di mata perusahaan
karena berhasil mendongkrak penjualan. Menurut
saya,
mestinya caranya gak gitu yaa. Staf
customer service bisa
bertanya dengan sopan sebelum nota di
print out di
mesin kasir, misal “Ibu mau jenis popcorn
dan
ukuran yang mana? Saya juga paham kok, buat staf
sales maupun staf customer
service, jumlah
penjualan baik secara kuantitas maupun nilai penjualan menjadi tolok ukur
kesuksesan. Untungnya pada saat itu, saya dalam kondisi
membawa cukup uang dan lagi-lagi
saya
males memperpanjang masalah. Rasanya
praktek yang
dilakukan semacam
ini bisa terjadi di berbagai penjualan produk lain. Bagi saya, metode seperti
ini ibarat membohongi atau menjebak konsumen secara halus. sumber: Pixabay |
Adalagi pengalaman yang saya alami terkait credit point. Ceritanya di sebuah gerai operator telekomunikasi saya mau mencari informasi tentang cara berganti paket langganan. Pada hari itu, saya dilayani oleh mbak X yang menjelaskan harganya sekian untuk paket internet xxx. Lalu 2 minggu kemudian saya datang lagi untuk mengganti paket langganan. Sesuai nomor antrean, mbak customer service yang melayani saya berbeda. Sebut saja, mbak Y. Nah mbak Y ini bilang, kalau pakai nomor baru alias beli nomor perdana, baru bisa beli paket internet xxx tsb, dan kalau menggunakan nomor lama paketnya agak berbeda dengan harga sekian plus plus. Pada saat itu saya langsung mikir, waduh bagaimana ya kok gak ada standar penjelasan informasi buat konsumen? Apa iya, ada kesalahan pemberian informasi saat pertama kali saya bertanya. Atau memang, mbak yang bertugas ingin memperoleh credit point karena berhasil menjual paket internet yang lebih mahal buat konsumen? Ntahlah. Memang dasar saya males memperpanjang masalah, meski dalem hati rasanya dongkol hihi.
sumber: Shutterstock |
Label Harga Berbeda
Pengalaman lain mengenai perbedaan harga di label
produk dengan harga di komputer kasir. Buibuk kudu waspada saat berbelanja di supermarket atau minimarket. Seringkali
price tag atau barcode produk promo belum diupdate sesuai iklan. Mungkin juga pihak penjual gak bermaksud membohongi,
namun karena keterbatasan sistem menyulitkan update label harga per produk.
Dulu, saya
pernah bertanya ke staf
customer service
& kasir, mereka memang
mengakui
belum sempat atau gak mungkin sempat mengupdate price tag berkala setiap hari. Ya, secara terdapat puluhan atau
bahkan ratusan produk yang dijual, pasti merepotkan. Bisa jadi, sistem manajemen pelabelan harga produk yang belum sempurna atau memang ada
keterbatasan saking banyaknya produk yang dijual. Lagi-lagi,
kita sebagai konsumen mesti ekstra jeli saat berbelanja. Beberapa tahun silam, ayah
saya pernah beli pasta gigi merek A ternyata pas tiba di
rumah isinya berbeda, pasta gigi merek B. Ya memang belum tentu pihak minimarket yang alpa, tapi bisa juga pihak " konsumen
nakal" yang menukar barang saat berbelanja, who
knows.sumber: Shutterstock |
Its All About Manners
Ada juga
pengalaman positif
yang saya alami, di salah satu
minimarket langganan saya. Ceritanya saya ketinggalan belanjaan Apel sekitar 1 kg. Saya baru
sadar pas tiba di rumah. Lalu sekitar seminggu kemudian saya baru sempat
mampir, belanjaan apel saya diganti gratis lho, ah senangnya. Ada hal unik juga, kalau suka memperhatikan
tanda peringatan di toko. Seringkali di toko, ada semacam peringatan "Barang
rusak atau pecah berarti membeli". Nah kalau ini
memang masuk akal. Adapula ada peringatan seperti ini, “jangan sentuh atau memegang barang bila tak membeli. Memang sih, maksudnya baik
supaya barangnya tetap tertata apik dan gak gampang rusak. Cuma, kalau menurut
saya pribadi kok agak kurang pas, kurang santun buat konsumen. Menurut saya, pihak penjual mending sekalian tegas aja, kalau tidak boleh dipegang
sebaiknya produk tsb gak usah dipajang. Ya namanya juga konsumen. Konsumen ketika ingin membeli
suatu barang, biasanya kan
pengen nyobain produknya dulu, supaya gak kayak beli kucing dalam karung
hehehe.
Ada satu pengalaman lain, waktu itu saya mendatangi servis center sebuah merek ponsel. Kebetulan pada hari biasa, sekitar pukul 10 pagi kondisi toko relatif sepi. Di servis center tsb, berlaku sistem antrean. Nomor antrean bagi konsumen yang mau membeli asesoris hp dibedakan dengan antrean konsumen yang mau servis hp. Saya sih mikirnya praktis aja, secara di gerai asesoris hp kosong, saat itu ada 2 staf. Seorang staf sedang melayani konsumen, nah saya bertanya ke staf yang satunya, gak dilayani lho. Staf tsb memasang wajah juteknya, kira-kira begini percakapannya;
Ada satu pengalaman lain, waktu itu saya mendatangi servis center sebuah merek ponsel. Kebetulan pada hari biasa, sekitar pukul 10 pagi kondisi toko relatif sepi. Di servis center tsb, berlaku sistem antrean. Nomor antrean bagi konsumen yang mau membeli asesoris hp dibedakan dengan antrean konsumen yang mau servis hp. Saya sih mikirnya praktis aja, secara di gerai asesoris hp kosong, saat itu ada 2 staf. Seorang staf sedang melayani konsumen, nah saya bertanya ke staf yang satunya, gak dilayani lho. Staf tsb memasang wajah juteknya, kira-kira begini percakapannya;
Saya:
mbak, saya cuma mau nanya harga dulu kok, belum tentu beli
Staf
: ambil nomor antrean dulu bu (dengan wajah jutek)
Saya:
Saya pertegas dong. Kalau mau nanya doang, tetap harus ambil nomor?
Staf:
iya, masih dengan wajah juteknya
sumber: Shutterstock |
Menurut
saya, mbok yaa jangan jutek, hari masih pagi aja udah cemberut. Kan staf tsb bisa
bilang dengan sopan, misal “Bapak/Ibu maaf tolong ambil nomor antrean meski
hanya bertanya harga dst”. Hari gini, kalau bekerja di lini customer service,
bawaannya masih jutek melulu, bisa-bisa para pelanggannya pada lari hihi.
Well, that’s some of my stories. Bagaimana dengan
pengalaman teman-teman? Silahkan sharing di kolom komentar ya, nanti saya akan
berkunjung balik ke blognya. Terima KasihCheers
wah suka sekali nih kalau belanja setelah di kasir hrg yang tertera di rak gak sama dengan yang di komputer, alasannya selalu bilang lupa diganti yg di rak kalau harga sdh berubah,
ReplyDeleteIya mba,sering banget ya hal semacam ini terjadi berulang kali
DeleteKalo saya pernah nih pas pesen makanan di salah satu fastfood kota saya. Padahal saya sudah jelasin detail , minta menu yg mana harga yang mana dan nggak usah dikasih salah satu bagian di dalamnya. Eh mbaknya tetep salah dikasih harga yg 2x lipat dan nggak ada mirip-miripnya. karena udah print ngga busa diganti, padahal kan yang salah mbaknya 😑😕
ReplyDeleteSalam kenal
www.diahestika.com
Iya mba, seringkali ada kesalahan dari pihak penjual namun pembeli yang terpaksa menanggung kerugian. Salam kenal juga
DeleteHahahaaha, aku pernah jadi CS DHL selama beberapa bulan dan kerjanya itu stress abiisss... dimarahin pelanggan kalau ada masalah (padahal bukan salah kita), trus ada target dari perusahaan juga, wiken masuk, hari libur masuk, halah ku tak sanggup hahahha.. akhirnya keluar dan mendapatkan pekerjaan baru yg lebih menyenangkan dan bebas diomel2in :D
ReplyDeleteMemang kalau bekerja di lini customer service harus tahan banting ya hehe, btw tergantung nature of business juga. Kalau industri jasa pengiriman yang melibatkan berbagai pihak, rasanya potensi problem yang muncul akan lebih kompleks.
DeleteAku kerja dibidang service, di salah satu bank asing. Dulu awal masuk sering bgt berurusan ama nasabah komplain. Dimaki, dilempar kertas, udah pernah. Tp pernah juga ketemu nasabah yg baiiiik banget. Skr sih aku ga di front liner lagi. Tp kalo anak2 ku di kantor ketemu masalah, udh bisa dipastikan nasabahnya pasti pengin ketemu aku :D. Kemarin ketemu nasabah yg komplain, tp lucunya dia ngoceeeeeeeeeh trus, tanpa mau ksh kesempatan aku utk kasih solusi :p. Tiap kali aku ngomong, di saat itu jg dia ngoceh lg. Hhahahaa.. Akunya malah pgn ketawa. Heran aja, kecepatan ngomongnya bisa secepet itu dalam 1 tarikan napas :p. Ya sudahlah, aku biarin dulu dia meluapkan aemua kekesalannya sampe puas :D. Baru setelah itu ksh solusi. Jd yg aku alamin sih dr sisi pemberi jasanya mba :D.
ReplyDeleteIya mba, dari sisi pemberi jasa mesti punya pil sabar yang luar biasa ya. Semua orang pasti punya pengalaman unik terkait urusan customer service ini, tergantung tipe businessnya juga hehe
DeleteKalau aku prinsipnya, kalau ditanya baek2 ya harusnya juga merespon dengan baik ya mba. Karena bagaimanapun kita juga harus bekerja profesional. Jangan sampe deh sama2 kena masalah untuk hal2 yang tak kita inginkan. Btw, baek banget tuh lupa apel 1 kg tapi seminggu kemudian dikasih gratis :p
ReplyDeleteBener, yang menjadi tantangan adalah menjaga manners apapun kondisinya. Iya, kebetulan sering belanja di minimarket tsb, mbak-mbaknya udah hafal jadi diganti gratis deh hehe
DeleteRasanya hal salah gini udah jadi lumrah di zaman sekarang ya, biaya (gaya) hidup tinggi bikin banyak orang nggos-ngosan, jadinya kerjapun gak fokus dan suka kebawa arus hati.
ReplyDeleteBtw yang soal harga barcode di supermarket saya selalu waspada dengan selalu mencocokan kode produk jika harga terbilang miring :)
Buibuk kalau belanja memang mesti teliti ya
Delete