Dokter sebuah cita-cita mulia
Sebagai orangtua tentu saya pribadi memiliki harapan
supaya anak-anak saya, kelak bisa menjadi seorang dokter. Ya seorang dokter,
profesi mulia yang menolong orang lain, Insya Allah bisa menjadi berkah di
dunia dan di akhirat.
|
Ilustrasi Mahasiswa Kedokteran (sumber: Shutterstock) |
Namun,
dewasa ini ternyata menjadi seorang dokter tidak semudah membalik telapak
tangan. Semakin maju perkembangan dunia kedokteran, biaya pendidikan dokter
justru semakin mahal, bisa dibilang biayanya selangit. Bagaimana tidak, biaya
uang pangkal untuk masuk ke sebuah fakultas kedokteran di universitas swasta di
Jakarta saja bisa mencapai seratus juta rupiah. Hmmm...besaran uangnya kok bisa
buat bayar uang muka pembelian rumah atau mobil yaa...
Biaya pendidikan dokter selangit
Lalu, bagaimana masa depan dunia kedokteran bila hanya orang-orang yang memiliki
uang lebih dari cukup atau strata sosial menengah atas yang bisa menjadi
dokter? Bukankah Indonesia masih membutuhkan ribuan dokter untuk disebar
di seantero negeri?
Saya
jadi sangsi, sebab menurut
informasi beberapa teman yang berprofesi sebagai dokter, menjadi dokter tidak
segemerlap yang dibayangkan kebanyakan orang. Seorang dokter justru butuh biaya
besar untuk meneruskan pendidikan dokter spesialis.
Saya
juga bertanya-tanya, apakah pemerintah sudah mengelola beasiswa bagi calon
mahasiswa kedokteran dengan baik? Bagaimana pemerintah memastikan pemerataan
pendidikan bagi calon dokter, khususnya bagi keluarga menengah ke bawah.
|
sumber: Shutterstock |
Dulu
almarhumah ibu saya adalah seorang dokter umum, alumni sebuah perguruan tinggi
negeri di Jakarta, termasuk beberapa kerabat seperti om maupun pakde yang
berprofesi sebagai dokter. Jadi, dunia kesehatan lekat dengan kehidupan saya
sejak kecil, sayapun sering mendengar cerita-cerita seputar kehidupan dokter.
Dulu di tahun 1960an zaman ibu saya menempuh pendidikan kedokteran, biaya
pendidikan belum semahal seperti saat ini karena subsidi pemerintah relatif
memadai.
Nampaknya,
perubahan UU yang mengubah status Universitas Negeri menjadi BHMN (Badan Hukum
Milik Negara) di awal tahun 2000 membawa sederet konsekuensi, khususnya
terhadap sumber pemasukan, pengelolaan
keuangan dan penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Peraturan
Pemerintah nomor 60 tahun
1999 tentang pendidikan tinggi
dan Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri
sebagai badan hukum dianggap sebagai kebebasan dalam penyelenggaraan pendidikan
tinggi, di bidang akademik dan otonomi keilmuan, termasuk otonomi dalam bidang keuangan. Lalu pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 12 tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yang mewajibkan pengelolaan
perguruan tinggi BHMN dengan pola pengelolaan keuangan BLU (Badan Layanan Umum), ditetapkan sebagai Perguruan Tinggi Negeri
Badan Hukum (PTN BH).
Problematika layanan kesehatan
Duh
pokoknya ruwet deh, kalau mikirin beragam problem dalam dunia kedokteran.
Belum
lagi standar dalam pelayanan kesehatan yang tidak seragam antara satu rumah
sakit dan rumah sakit lain, termasuk pelayanan di puskesmas. Banyak banget lho
yang mesti dibenahi. Sampai kapan yaa kondisi seperti ini berlarut. Bagaimana
bangsa Indonesia bisa maju bersaing dengan dokter-dokter asing...yang konon
katanya lebih profesional?
Pengalaman
pribadi saya saat berobat ke dokter sebuah puskesmas di Jakarta beberapa tahun
silam dengan keluhan gangguan pencernaan, juga gak terlalu memuaskan. Memang tarif
berobat di puskesmas murah, waktu itu saya bayar hanya 3 ribu rupiah. Di ruang
praktek, konsultasi dokter hanya berlangsung 5 menit. Sarannya pun sederhana
saja, untuk memperbanyak makan sayur dan buah. Wah, jujur saja..saya kecewa. Oh
ternyata seperti ini yaa pelayanan di puskesmas. Mungkin karena disubsidi
pemerintah, dokter hanya memperoleh honor yang tak seberapa, ditambah banyak
pasien yang mengantre. Rasanya para dokter hanya bertanya mengenai keluhan
pasien seadanya supaya pekerjaan mereka cepat selesai. Begitulah kira-kira yang
terlintas di benak saya.
Biaya
berobat di RS swasta memang relatif lebih mahal. Biasanya ketika berobat ke
dokter umum, tarifnya berkisar sekitar 75 hingga 100 ribu rupiah, dan tarif
berobat ke dokter spesialis berkisar 120-150 ribu rupiah per kunjungan. Meskipun
tarif berobat di RS swasta berbeda-beda, namun hal tersebut belum tentu
menjamin kepuasan pasien atas pelayanan dokter.
Begitu pula pelayanan dokter di puskemas daerah atau
di wilayah yang agak terpencil. Beberapa tahun lalu saat dinas kantor, saya
pernah berkunjung ke sebuah puskesmas di kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan
Timur. Mudah ditebak, fasilitas puskesmas di daerah belum selengkap atau
secanggih di ibukota. Dokternya pun kadang hanya satu, dan harus menghadapi
aneka penyakit pasien. Sedih rasanya
bila memikirkan fasilitas kesehatan di lokasi terpencil.
|
sumber: pasiensehat.com |
Saya pernah
curhat dengan sahabat saya, seorang
dokter. Sahabat saya bilang dokter itu juga manusia. Dokter pun profesi yang
sama dengan profesi lain. Dokter juga pasti akan mengalami kelelahan luar biasa
bila bekerja over load. Apalagi
dengan sistem BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang belum siap 100%. Jumlah
dokter terbatas, namun ‘terpaksa’ memberi pelayanan kesehatan untuk ratusan pasien
per hari. Belum lagi masalah anggaran biaya untuk pasien, dalam banyak kasus
tidak semua biaya pengobatan ditanggung 100 persen oleh BPJS. Menurut saya, pemerintah
seharusnya memberikan porsi anggaran kesehatan yang lebih besar, melalui APBN dan
APBD, sehingga pasien yang memang tidak mampu bisa memperoleh pengobatan
gratis.
|
sumber: Shutterstock |
Satu
hal lagi, ada pemeo di masyarakat bahwa para dokter sekarang relatif mau
bekerja di rumah sakit besar supaya cepat ‘balik modal’ karena sudah
mengeluarkan biaya pendidikan jutaan rupiah. Ntahlah pameo tersebut benar atau
tidak, namun yang jelas menjadi seorang dokter sudah seharusnya bagian dari
panggilan jiwa, bukan sekedar mengejar materi.
Saya percaya masih banyak dokter yang memiliki semangat tinggi dan
berjuang demi mewujudkan kesehatan bangsa.
Aksi Ikatan Dokter Indonesia
(IDI)
Saat memperingati HUT IDI 24 Oktober lalu, para dokter
menyuarakan aspirasi mereka. Mereka mengkritisi sistem pendidikan dokter,
sistem pelayanan kesehatan serta ketergantungan Indonesia terhadap alat kesehatan
maupun obat impor. Aksi para dokter yang tergabung dalam IDI merupakan niat
untuk memulai reformasi sistem kesehatan serta reformasi sistem pendidikan
kedokteran. Harapannya, agar dokter Indonesia selalu merakyat dan pro rakyat.
|
Ilustrasi alkes (sumber: Shutterstock) |
Menurut
para dokter yang melakukan aksi, pemerintah seharusnya tidak berkutat atau membuat
program studi yang justru memperpanjang sistem pendidikan dokter. Di sisi lain
pemerintah mengklaim penyelenggaraan pendidikan dokter layanan primer bertujuan
untuk memperbaiki kualitas layanan kesehatan di puskesmas.
Meskipun saya awam soal ini, menurut saya pemerintah
seharusnya membenahi layanan mendasar terlebih dahulu, memperbaiki sistem
layanan kesehatan di berbagai rumah sakit maupun puskesmas, serta mendorong
produksi alkes di dalam negeri, termasuk memproduksi vaksin secara mandiri.
|
Aksi dokter (sumber: IDI) |
Jujur
nih, saya suka bingung kenapa yaa dunia kedokteran yang sudah maju di Indonesia
belum dapat memproduksi vaksin secara mandiri. Vaksin varisela contohnya, sulit
sekali memperoleh stoknya dalam 3 tahun terakhir. Kadang saat berobat ke dokter
anak, saya sering menanyakan hal ini ke dokternya, tapi dokter pun tak tahu
menahu.
Apa iya bangsa Indonesia mau terus-menerus tergantung
dengan bangsa lain, mengimpor alkes, mengimpor obat dan vaksin. Belum lagi
serbuan dokter asing yang bebas masuk dan berpraktik di dalam negeri.
|
Ilustrasi obat (sumber: Shutterstock) |
Pemerintah
harus lebih waspada terhadap maraknya praktik dokter ilegal. Sebagaimana kita
ketahui dalam pemberitaan yang sempat ramai pada 2014 lalu, bahwa ada klinik kesehatan dengan
dokter berkewarganegaraan asing melakukan praktik medis ilegal di kawasan
Jakarta Barat. Praktik dokter ilegal baru
terungkap setelah beberapa pasien mengeluh di media sosial.
Contoh
tragis lainnya, pada 2015 lalu seorang perempuan diduga meninggal dunia karena
malapraktik dokter asing setelah menjalani terapi tulang belakang chiropractic.
Hal-hal
tersebut hanya salah satu contoh, mungkin masih banyak praktik ilegal atau malapraktik
yang tak terendus di luar sana. Banyak sekali yang harus dibenahi, bagaimana
pengawasan pemerintah ditingkatkan terhadap dokter-dokter asing tersebut.
|
Aksi dokter (sumber: IDI) |
Keberhasilan sektor kesehatan adalah tanggung jawab
bersama. Negara berkewajiban menjamin kesehatan rakyatnya sesuai amanah UUD
1945 dan UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009. Ikatan Dokter lndonesia (lDl) sebagai
satu-satunya organisasi profesi dokter berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang praktik kedokteran, memiliki peran dan tanggung jawab tidak hanya
kepada anggotanya, namun juga kepada masyarakat. IDI juga merasa perlu berperan
aktif melalui berbagai upaya untuk mewujudkan profesionalisme dokter dalam
rangka menghadirkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan pro rakyat. Keberhasilan
tugas profesional seorang dokter adalah tanggung jawab bersama. Tidak hanya
dibebankan pada profesi dokter tapi juga harus didukung penuh oleh pemangku
kebijakan, terutama pemerintah.
Dalam rangka menghadirkan kesehatan dasar yang berkualitas,
diperlukan dokter yang bermutu dalam pelayanannya. Hal tersebut tidak dapat
dilepaskan dari adanya sistem dan proses pendidikan kedokteran yang juga
bermutu.
|
Mahasiswa kedokteran (sumber: FK UGM) |
Pendidikan
kedokteran harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, khususnya hal
yang terkait dengan mahalnya biaya pendidikan kedokteran yang pada ujungnya berdampak
pada mahalnya biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh masyarakat. Akibatnya,
masyarakat miskin semakin sulit
mengakses pelayanan kesehatan dengan
mudah dan murah.
Satu hal yang mendesak dilakukan, segera benahi carut
marut dunia kedokteran dan dunia kesehatan di Indonesia, demi kehidupan masa
depan bangsa Indonesia yang lebih baik. Semoga pelayanan kesehatan yang
benar-benar pro rakyat, bisa segera terwujud. Perbaikan dunia kesehatan menjadi
tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat di berbagai sektor.
Last
but not least, semoga cita-cita saya menyekolahkan anak-anak di fakultas
kedokteran bisa terwujud di masa mendatang :)
See U