Sunday, May 29, 2016

A New Life Without Appendix (Hidup Baru Tanpa Usus Buntu)



The Moment of The Surgery

Sumber: Shutterstock

Sorot lampu di meja operasi itu membuat jantung saya berdegup lebih kencang, keberanian yang saya kumpulkan hari demi hari seolah pupus saat itu. Saat  dokter spesialis anestesi menyuntikkan obat bius spinal melalui tulang belakang tubuh saya, saya tak mampu menutupi kekhawatiran dan rasa takut, meskipun saya pernah menjalani dua kali operasi melahirkan caesar sebelumnya. Hal yang sangat manusiawi...

Tentu, saya atau siapapun rasanya tak mau mati konyol dalam arti mati sia-sia karena keteledoran manusia...berita-berita mengenai pasien yang meninggal dunia, yang diduga kuat karena dampak obat bius anestesi yang tertukar isinya dengan obat lain beberapa waktu lalu, masih melekat erat di benak saya.

Bahkan sebelum operasi dilakukan, saya sempat bertanya bolak-balik kepada dokter spesialis bedah yang menangani mengenai obat bius (anestesi) yang akan dipakai, termasuk bertanya langsung dengan pihak apotek rumah sakit tersebut. Meski semua keterangan menguatkan, bahwa pihak rumah sakit tidak menggunakan lagi obat-obatan anestesi yang diduga menjadi penyebab kematian pasien yang terkait kasus tersebut, tetap saja diri saya diliputi rasa khawatir.

Seingat saya membutuhkan waktu sekitar 15 menit hingga separuh tubuh saya tepatnya bagian bawah tubuh saya, benar-benar terasa baal, hingga tak merasakan apapun.  Hati saya mulai tenang, obat bius bekerja dengan baik, selang oksigen dipasang melalui lubang hidung, alat pendeteksi denyut jantung dipasang, termasuk selang kateter untuk mengalirkan urine.

Another thing, for those who hasn’t been experience with the operation room situation, please be ready for being naked in front of the doctor, medical practitioner and the nurse. This is a standard procedure.  
Saya hanya ingin sekedar berbagi saja, supaya kalau sewaktu-waktu teman pembaca blog harus menjalani operasi untuk pertama kalinya, gak terkaget- kaget. Jangan sampai gara-gara hal yang sepertinya sepele, semisal rasa malu (atau malu-maluin yah) ruang operasi jadi geger. Hi hi...

Berbeda dengan bius total dimana pasien dikondisikan “tertidur”, dengan bius spinal saya berada dalam kondisi sadar penuh, meskipun tak bisa melihat langsung proses operasi. Tubuh saya diberi pembatas (selubung) di bagian dada. Setidaknya saya bisa merasakan detik demi detik saat operasi berlangsung. Terkadang saya mencoba curi-curi pandang melalui bayangan yang memantul di lampu operasi, yang untungnya bayangannya agak nge-blur...coba kalo bayangannya jernih, bisa jadi saya malah pingsan. Oow...

Sumber: Shutterstock

Untungnya juga, para perawat di ruang operasi humoris, suka bercanda sehingga mampu membuat saya lebih tenang dan rileks menghadapi operasi. Yaa mungkin juga, karena sehari-hari mereka berkutat dengan konsentrasi dan ketelitian tingkat tinggi. Ngobrol dengan pasien menjadi salah satu metode untuk mengurangi ketegangan di dalam ruang operasi.

Sumber: Shutterstock


Operasi pengangkatan usus buntu saya, memakan waktu sekitar satu jam. Untungnya radang usus buntu yang saya alami, tidak ada absesnya (nanah) dan belum terjadi perforasi ( luka radang usus buntunya belum pecah. Kendala atau faktor penyulit yang terjadi saat operasi, hanya ada perlengketan sebagian usus buntu di dinding perut. Ternyata nih, kondisi radang usus buntu saya yang sudah akut !, baru ketahuan saat operasi berlangsung, kata dokter bedahnya. Jadi, kondisi radang usus buntu yang saya alami bukan kronis seperti yang saya duga semula, meski gejala nyerinya timbul tenggelam. Lagi-lagi untungnya hehe....dapet penyakit kok masih aja ngomong “untungnya”...I could be dying...


Jelang Operasi
Sebagai persiapan menghadapi operasi, saya (pasien) harus berada dalam kondisi tubuh yang sehat. Operasi tidak dapat dilakukan ketika kondisi tubuh sedang sakit. Tentu, menjaga stamina tubuh menjadi prioritas utama. Termasuk mengonsumsi makanan sehat, memasak sendiri makanan sehari-hari. Saya sama sekali gak jajan atau beli makanan dari luar sekitar tiga minggu jelang operasi lho, kira-kira sejak saya divonis menderita penyakit radang usus buntu. Sehari-hari saya biasa mengonsumsi tahu tempe, sayur bayam, tumis buncis dan wortel. Bisa dibayangkan kan bagaimana nikmatnya mengonsumsi makanan tanpa sambal, rasanya seperti sayur kurang garam  atau bunga tanpa kumbang yaa  hehe...Jadi bukan cuma ujian yang butuh persiapan. Anything happened in our life needs preparation.

 
Menu Sehat

Sebelum dirawat inap, saya menjalani tes laboratorium untuk mengecek darah rutin termasuk mengecek lama waktu pembekuan dan waktu perdarahan, karena kondisi ini yang bisa menyebabkan komplikasi dalam sebuah operasi. Saya  juga menjalani tes EKG (Elektrokardiogram) untuk merekam kerja jantung, tepatnya irama jantung, mendeteksi apakah denyut jantung normal atau ada gangguan.

Alhamdulillah semua tes menunjukkan kondisi normal, sehingga saya bisa melanjutkan ke tahap berikutnya. Yaa namanya juga punya penyakit, ingin rasanya cepet-cepet “membuang” biang penyakitnya tho...

Setelah masuk rawat inap, ada beberapa tahapan yang saya jalani. Sebagai pasien yang akan menjalani operasi, kita dipasangi terminal infus. Suntikan tepat di jalur pembuluh darah untuk mengalirkan obat-obatan sebelum, saat dan setelah operasi. Suntikan dilakukan di punggung telapak tangan, rasanya lumayan aargh...
Selain itu, dilakukan tes alergi antibiotik dengan suntikan dibawah kulit tangan, yang ini suntikannya lebih terasa...


Terminal Infus

Ikhlas menjalani semua proses, membuat rasa sakit karena suntikan hilang seketika,  disuntik seakan menjadi hal biasa buat saya. Persiapan operasi termasuk puasa total, tidak boleh makan dan minum minimal 7 jam sebelum operasi.

Menginformasikan kondisi kesehatan tubuh kita yang seutuhnya menjadi hal esensial, seperti jenis obat-obatan  yang membuat kita alergi atau alergi terhadap sesuatu hal. Termasuk riwayat kesehatan, misal apakah kita pernah mengalami hipertensi, asam urat, asma, diabetes dll. Bukan apa-apa, petugas medis dan dokter membutuhkan informasi mengenai kondisi pasien yang detil dan sebenar-benarnya, untuk meminimalisir faktor risiko komplikasi saat operasi. That’s the rule



Untung lagi-lagi, saya sama sekali tidak memiliki riwayat penyakit lain. Bisa dibilang jarang sakit, terkadang sakit ringan seperti batuk pilek saja. Tapi sekalinya sakit, kok lumayan berat yaa, terkena radang usus buntu ini. Wadezig


Menurut saya, hal terpenting dalam menghadapi operasi adalah kesiapan mental dan ketenangan batin sehingga kita bisa menjalani semua proses dengan hati lapang. Satu lagi, saya percaya dengan kekuatan doa. Semua doa yang kita panjatkan kepada Yang Maha Kuasa, sangat membantu kelancaran operasi. That’s True


Pasca Operasi
Saat operasi appendix pertengahan Mei lalu, saya sudah dikembalikan langsung ke ruang rawat satu jam pasca operasi. Saya (pasien) diwajibkan untuk berbaring  dalam waktu 24 jam. Kepala tidak boleh diangkat atau mendongak karena dapat menimbulkan rasa pusing atau nyeri sebagai dampak dari obat anestesi yang masih berada di dalam tubuh.
 
Sumber: Shutterstock


Kondisi tubuh saya sempat melemah karena sebelum dan sesudah operasi harus menjalani puasa (sudah prosedur baku), kepala pusing-pusing karena belum ada asupan yang masuk sebelum gerakan peristaltik organ pencernaan kembali normal. Saya baru diizinkan makan sekitar delapan jam pasca operasi.

Nah, sekitar 3 hingga 4 jam pasca operasi, ketika pengaruh obat anestesi berangsur memudar, mulai timbul rasa nyeri hebat di bekas luka operasi.

I think the pain after appendix surgery is much more bigger than the pain after caesarian operation, according to me, the pain is  about 3 or 4 times bigger.

Sayapun mendapat suntikan obat pereda nyeri dan antibiotik melalui infus, untuk meredakan rasa sakit tersebut. Sayangnya menurut saya, obat pereda nyeri hanya ampuh untuk beberapa jam saja...maka pada malam pertama pasca operasi saya tak dapat tidur. Saya kerap terbangun setiap satu jam karena tubuh terasa pegal dan  nyeri, bahkan untuk sekedar memejamkan mata saja rasanya tak nyaman.

Dua belas jam pasca operasi, saya (pasien) diminta untuk latihan memiringkan badan ke kanan dan ke kiri. Badan saya rasanya remuk redam, seperti dipukul dengan gada besar, karena berbaring seharian. Tubuh terasa pegal linu, otot terasa kaku. Selanjutnya, latihan duduk dan berjalan dilakukan secara bertahap 24 jam pasca operasi.

Menurut hemat saya, pasien sebaiknya tidak diizinkan untuk dikunjungi dalam waktu 12 jam pasca operasi, sehingga pasien benar-benar bisa beristirahat. Kadang tanpa disadari ketika kita mengobrol karena ada saudara, kerabat atau teman yang menjenguk, sebenarnya cukup menguras energi di saat kondisi tubuh belum stabil. Pasca operasi saat itu, saya tidak bisa benar-benar beristirahat total, apalagi sambil menahan rasa nyeri.

Memang setiap rumah sakit memiliki prosedur yang berbeda-beda. Dulu sewaktu habis melahirkan  dengan operasi caesar di sebuah rumah sakit di bilangan Jakarta Selatan, saya (pasien) diwajibkan untuk berbaring di ruang pemulihan atau ruang transit, dimana hanya perawat yang bisa memonitor. Ketika kondisi pasien sudah stabil, setelah 8-10 jam pasca operasi,  baru pasien diizinkan kembali ke ruang rawat inap. 

Perlu diingat, ruang rawat di rumah sakit manapun khususnya di pagi hari menjadi periode super sibuk.  Sebentar-bentar pintu ruang dibuka tutup, dari mulai suster yang mengecek tekanan darah dan suhu tubuh secara berkala, petugas kebersihan yang menyapu dan mengepel lantai kamar, petugas pembersih kamar mandi, petugas pembasmi serangga yang mencari nyamuk dan teman-temannya. Selain petugas yang mengantarkan makanan sesuai jadwal, atau petugas yang mengantarkan koran. Well, the atmosphere inside the hospital room is really busy actually.

Riuh kicauan obrolan orang yang lalu lalang di sekitar ruang rawat yang tidak kedap suara juga menambah kebisingan, meskipun kita berada dalam ruang rawat sendirian. Jadi yaa kudu sabar-sabar menghadapi segala situasi yang muncul dalam kondisi tubuh kita yang relatif lemah atau belum fit. Suasana dalam kamar rawat inap baru terasa mulai hening setelah pukul tujuh malam.

Sumber: Shutterstock

Selain itu, kita perlu memiliki kesabaran ekstra menghadapi proses administrasi  yang berbeda di setiap rumah sakit termasuk menemui karakter yang beraneka ragam. Di rumah sakit manapun ada tipe perawat maupun staf yang cekatan, ada yang sabar, ada yang tergesa-gesa, ada yang rada lamban. Tentu berbagai karakter manusia ada dalam setiap profesi apapun tho... Kesabaran menjadi kuncinya, meskipun dalam pelaksanaannya tak mudah.  


Cerita –Cerita Mengenai Operasi Usus Buntu
Sebelum operasi berlangsung, tentu saya sudah mencari beragam informasi mengenai penyakit radang usus buntu ini. Dari bertanya ke sana kemari, mencari di internet, mendengar pengalaman teman atau rekan kerja.

Bertanya ke kanan dan ke kiri, kok rasanya banyak banget yaa yang pernah menderita radang usus buntu dan menjalani operasi, dari mulai anak-anak, remaja, hingga orang dewasa.

Ternyata hal ini benar adanya. Dokter bedah saya bercerita, kasus radang usus buntu merupakan kasus nomor satu dari sekian kasus penyakit pasien bedah lainnya. Kira-kira beginilah cuplikan perbincangan saya dengan dokter bedah beberapa  hari sebelum operasi berlangsung.
Saya: Dok, kok rasanya banyak banget ya yang pernah sakit usus buntu?
Dokter Bedah: Di spesialis bedah, operasi radang usus buntu merupakan kasus terbanyak, dibanding kasus-kasus lain.
Saya: Kasus penyakit lain seperti apa saja dok?
Dokter Bedah: Misalnya kista ovarium, tumor, hernia
Ya lagi-lagi kembali ke penyakitnya, karena usus buntu memang seperti “jalan buntu” kalau ada infeksi, lambat laun akan membengkak. There is no way out

Kesimpulannya satu, ketika terjadi infeksi atau radang usus buntu, maka jalan satu-satunya yang terbaik adalah operasi membuang usus buntu tersebut. Bila tidak, ya bisa fatal, bisa menyebabkan kematian mendadak. Dalam beberapa kasus ada pasien dengan radang usus buntu akut (dimana sudah terjadi perforasi atau pecah luka di usus buntunya) maka operasinya akan lebih sulit. Sebab tim dokter harus “membersihkan luka” yang sudah menyebar ke rongga perut, termasuk waktu rawat inap yang lebih lama.

Talking about this, I think I have made a right decision in my life, to run the appendix surgery.

Cerita-cerita semacam ini memang benar terjadi, bukan mengada-ada. Seorang kerabat saya bercerita, salah satu rekan kerjanya meninggal dunia mendadak ketika sedang mengikuti rapat. Usut punya usut, ternyata gara-gara usus buntu yang meradang pecah seketika sehingga kumannya menyebar ke seluruh tubuhnya, persis seperti sebuah serangan jantung. Padahal konon orangnya rajin berolahraga, badannya atletis, suka ikut lomba lari yang sekarang lagi nge-hits. Sulit dipercaya kan...yaa itu tadi, usus buntu mah gak bisa diliat dari penampilan doang. Itu kan organ pencernaan dalam, kudu dicek dengan metode kedokteran, bisa melalui Appendicogram, USG abdomen oleh dokter radiologi, dan CT Scan.

Terkadang buat pasien radang usus buntu yang orangnya rada gemuk atau gendut, konon dimana mungkin sensitivitas terhadap rasa nyeri atau hal aneh dalam perutnya sulit terasa akibat lapisan lemak yang berlapis-lapis, bukan kue lapis lho..piss ah, seringkali gejala awalnya rancu atau penderita menganggap rasa nyeri sebagai sakit perut biasa.


A New Life After The Appendix is gone
Satu hal yang perlu dicatat, saya atau siapapun yang sudah menjalani operasi usus buntu, akan kehilangan salah satu organ tubuh yang menghasilkan sel leukosit yaitu sel yang berfungsi untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau melawan infeksi pada tubuh. Ini artinya saya dan pasien-pasien yang pernah menjalani operasi usus buntu harus lebih menata makanan apa saja yang dikonsumsi dan pintar-pintar menjaga kondisi kesehatan.

Kini, saya berusaha menjalani kesempatan hidup kedua dengan lebih baik lagi, Insya Allah saya akan lebih memperhatikan kondisi kesehatan tubuh dengan lebih seksama. Tentu, memperbanyak porsi konsumsi makanan berserat seperti sayur mayur dan buah sesuai anjuran dokter wajib diikuti.

Sumber: Shutterstock

Semoga cerita saya tentang kesehatan kali ini bisa bermanfaat buat teman-teman semua. Buat yang ingin bertanya lebih jauh, kasih komentar atau kasih support, monggo yaa.

So don’t worry for having a surgery, if it is necessary

See u



7 comments:

  1. Gara-gara baca ini aku jadi tau ternyata usus buntu memproduksi leukosit..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya dek Nurul, aku juga baru ngeh setelah selesai operasi. Secara logika, apapun ciptaan Tuhan YME pasti ada manfaatnya khan. Terimakasih atensinya

      Delete
  2. Dear Mimut , Alhamdulillah ya operasinya sukses,Smoga tdk ada lagi sakit yg menimpa Mimut & Kel Mimut. Trus makasih ya cerita PERJALANAN USUS BUNTU MIMUT, bagi orang seperti saya ini sangat bermanfaat.Salam SEHAT & SEMANGAT

    ReplyDelete
  3. Dear Mimut , Alhamdulillah ya operasinya sukses,Smoga tdk ada lagi sakit yg menimpa Mimut & Kel Mimut. Trus makasih ya cerita PERJALANAN USUS BUNTU MIMUT, bagi orang seperti saya ini sangat bermanfaat.Salam SEHAT & SEMANGAT

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih doanya, semoga cerita pengalaman saya bisa bermanfaat buat orang banyak, amien

      Delete