The Moment of The Surgery
Sumber: Shutterstock |
Sorot
lampu di meja operasi itu membuat jantung saya berdegup lebih kencang,
keberanian yang saya kumpulkan hari demi hari seolah pupus saat itu. Saat dokter spesialis anestesi menyuntikkan obat
bius spinal melalui tulang belakang tubuh saya, saya tak mampu menutupi
kekhawatiran dan rasa takut, meskipun saya pernah menjalani dua kali operasi melahirkan
caesar sebelumnya. Hal yang sangat
manusiawi...
Tentu,
saya atau siapapun rasanya tak mau mati konyol dalam arti mati sia-sia karena
keteledoran manusia...berita-berita mengenai pasien yang meninggal dunia, yang
diduga kuat karena dampak obat bius anestesi yang tertukar isinya dengan obat
lain beberapa waktu lalu, masih melekat erat di benak saya.
Bahkan
sebelum operasi dilakukan, saya sempat bertanya
bolak-balik kepada dokter spesialis bedah yang menangani mengenai obat bius (anestesi)
yang akan dipakai, termasuk bertanya langsung dengan pihak apotek rumah sakit tersebut.
Meski semua keterangan menguatkan, bahwa pihak rumah sakit tidak menggunakan lagi
obat-obatan anestesi yang diduga menjadi penyebab kematian pasien yang terkait kasus tersebut, tetap saja diri saya diliputi rasa khawatir.
Seingat saya membutuhkan
waktu sekitar 15 menit hingga separuh tubuh saya tepatnya bagian bawah tubuh saya,
benar-benar terasa baal, hingga tak merasakan apapun. Hati saya mulai tenang, obat bius bekerja
dengan baik, selang oksigen dipasang melalui lubang hidung, alat pendeteksi denyut
jantung dipasang, termasuk selang kateter untuk mengalirkan urine.
Another thing, for those who hasn’t been experience with the operation room situation, please be ready for being naked in front of the doctor, medical practitioner and the nurse. This is a standard procedure.
Saya hanya
ingin sekedar berbagi saja, supaya kalau sewaktu-waktu teman pembaca blog harus
menjalani operasi untuk pertama kalinya, gak terkaget- kaget. Jangan sampai
gara-gara hal yang sepertinya sepele, semisal rasa malu (atau malu-maluin yah)
ruang operasi jadi geger. Hi hi...
Berbeda
dengan bius total dimana pasien dikondisikan “tertidur”, dengan bius spinal
saya berada dalam kondisi sadar penuh, meskipun tak bisa melihat langsung
proses operasi. Tubuh saya diberi pembatas (selubung) di bagian dada. Setidaknya
saya bisa merasakan detik demi detik saat operasi berlangsung. Terkadang saya
mencoba curi-curi pandang melalui bayangan yang memantul di lampu operasi, yang
untungnya bayangannya agak nge-blur...coba
kalo bayangannya jernih, bisa jadi
saya malah pingsan. Oow...
Sumber: Shutterstock |
Untungnya juga, para perawat di ruang operasi humoris, suka bercanda sehingga mampu membuat saya lebih tenang dan rileks menghadapi operasi. Yaa mungkin juga, karena sehari-hari mereka berkutat dengan konsentrasi dan ketelitian tingkat tinggi. Ngobrol dengan pasien menjadi salah satu metode untuk mengurangi ketegangan di dalam ruang operasi.
Sumber: Shutterstock |
Operasi
pengangkatan usus buntu saya, memakan waktu sekitar satu jam. Untungnya radang
usus buntu yang saya alami, tidak ada absesnya (nanah) dan belum terjadi perforasi ( luka radang usus buntunya belum
pecah. Kendala atau faktor penyulit yang terjadi saat operasi, hanya ada
perlengketan sebagian usus buntu di dinding perut. Ternyata nih, kondisi radang
usus buntu saya yang sudah akut !, baru ketahuan saat operasi berlangsung, kata
dokter bedahnya. Jadi, kondisi radang usus buntu yang saya alami bukan kronis
seperti yang saya duga semula, meski gejala nyerinya timbul tenggelam. Lagi-lagi
untungnya hehe....dapet penyakit kok masih aja ngomong “untungnya”...I
could be dying...
Jelang Operasi
Sebagai
persiapan menghadapi operasi, saya (pasien) harus berada dalam kondisi tubuh
yang sehat. Operasi tidak dapat dilakukan ketika kondisi tubuh sedang sakit.
Tentu, menjaga stamina tubuh menjadi prioritas utama. Termasuk mengonsumsi
makanan sehat, memasak sendiri makanan sehari-hari. Saya sama sekali gak jajan
atau beli makanan dari luar sekitar tiga minggu jelang operasi lho, kira-kira
sejak saya divonis menderita penyakit radang usus buntu. Sehari-hari saya biasa
mengonsumsi tahu tempe, sayur bayam, tumis buncis dan wortel. Bisa dibayangkan
kan bagaimana nikmatnya mengonsumsi makanan tanpa sambal, rasanya seperti sayur
kurang garam atau bunga tanpa kumbang
yaa hehe...Jadi bukan cuma ujian yang
butuh persiapan. Anything happened in our life needs preparation.
Sebelum
dirawat inap, saya menjalani tes laboratorium untuk mengecek darah rutin termasuk
mengecek lama waktu pembekuan dan waktu perdarahan, karena kondisi ini yang
bisa menyebabkan komplikasi dalam sebuah operasi. Saya juga menjalani tes EKG (Elektrokardiogram) untuk merekam kerja jantung, tepatnya irama
jantung, mendeteksi apakah denyut jantung normal atau ada gangguan.
Alhamdulillah
semua tes menunjukkan kondisi normal, sehingga saya bisa melanjutkan ke tahap
berikutnya. Yaa namanya juga punya penyakit, ingin rasanya cepet-cepet
“membuang” biang penyakitnya tho...
Setelah
masuk rawat inap, ada beberapa tahapan yang saya jalani. Sebagai pasien yang
akan menjalani operasi, kita dipasangi terminal infus. Suntikan tepat di jalur
pembuluh darah untuk mengalirkan obat-obatan sebelum, saat dan setelah operasi.
Suntikan dilakukan di punggung telapak tangan, rasanya lumayan aargh...
Selain
itu, dilakukan tes alergi antibiotik dengan suntikan dibawah kulit tangan, yang
ini suntikannya lebih terasa...
Terminal Infus |
Ikhlas
menjalani semua proses, membuat rasa sakit karena suntikan hilang seketika, disuntik seakan menjadi hal biasa buat saya.
Persiapan operasi termasuk puasa total, tidak boleh makan dan minum minimal 7
jam sebelum operasi.
Menginformasikan
kondisi kesehatan tubuh kita yang seutuhnya menjadi hal esensial, seperti jenis
obat-obatan yang membuat kita alergi
atau alergi terhadap sesuatu hal. Termasuk riwayat kesehatan, misal apakah kita
pernah mengalami hipertensi, asam urat, asma, diabetes dll. Bukan apa-apa,
petugas medis dan dokter membutuhkan informasi mengenai kondisi pasien yang
detil dan sebenar-benarnya, untuk meminimalisir faktor risiko komplikasi saat
operasi. That’s the rule
Untung
lagi-lagi, saya sama sekali tidak memiliki riwayat penyakit lain. Bisa dibilang
jarang sakit, terkadang sakit ringan seperti batuk pilek saja. Tapi sekalinya
sakit, kok lumayan berat yaa, terkena radang usus buntu ini. Wadezig
Menurut saya,
hal terpenting dalam menghadapi operasi adalah kesiapan mental dan ketenangan
batin sehingga kita bisa menjalani semua proses dengan hati lapang. Satu lagi,
saya percaya dengan kekuatan doa. Semua doa yang kita panjatkan kepada Yang
Maha Kuasa, sangat membantu kelancaran operasi. That’s True
Pasca Operasi
Saat operasi appendix
pertengahan Mei lalu, saya sudah dikembalikan langsung ke ruang rawat satu jam
pasca operasi. Saya (pasien) diwajibkan untuk berbaring dalam waktu 24 jam. Kepala tidak boleh
diangkat atau mendongak karena dapat menimbulkan rasa pusing atau nyeri sebagai
dampak dari obat anestesi yang masih berada di dalam tubuh.
Sumber: Shutterstock |
Kondisi
tubuh saya sempat melemah karena sebelum dan sesudah operasi harus menjalani
puasa (sudah prosedur baku), kepala pusing-pusing karena belum ada asupan yang
masuk sebelum gerakan peristaltik organ pencernaan kembali normal. Saya baru diizinkan
makan sekitar delapan jam pasca operasi.
Nah,
sekitar 3 hingga 4 jam pasca operasi, ketika pengaruh obat anestesi berangsur
memudar, mulai timbul rasa nyeri hebat di bekas luka operasi.
I think the pain after appendix surgery is much more bigger than the pain
after caesarian operation, according to me, the pain is about 3 or 4 times bigger.
Sayapun
mendapat suntikan obat pereda nyeri dan antibiotik melalui infus, untuk
meredakan rasa sakit tersebut. Sayangnya menurut saya, obat pereda nyeri hanya
ampuh untuk beberapa jam saja...maka pada malam pertama pasca operasi saya tak
dapat tidur. Saya kerap terbangun setiap satu jam karena tubuh terasa pegal dan
nyeri, bahkan untuk sekedar memejamkan
mata saja rasanya tak nyaman.
Dua belas jam pasca operasi, saya (pasien) diminta untuk latihan memiringkan badan ke
kanan dan ke kiri. Badan saya rasanya remuk redam, seperti dipukul dengan gada
besar, karena berbaring seharian. Tubuh terasa pegal linu, otot terasa kaku. Selanjutnya,
latihan duduk dan berjalan dilakukan secara bertahap 24 jam pasca operasi.
Menurut
hemat saya, pasien sebaiknya tidak diizinkan untuk dikunjungi dalam waktu 12
jam pasca operasi, sehingga pasien benar-benar bisa beristirahat. Kadang tanpa
disadari ketika kita mengobrol karena ada saudara, kerabat atau teman yang
menjenguk, sebenarnya cukup menguras energi di saat kondisi tubuh belum stabil.
Pasca operasi saat itu, saya tidak bisa benar-benar beristirahat total, apalagi
sambil menahan rasa nyeri.
Memang
setiap rumah sakit memiliki prosedur yang berbeda-beda. Dulu sewaktu habis
melahirkan dengan operasi caesar di sebuah rumah sakit di bilangan
Jakarta Selatan, saya (pasien) diwajibkan untuk berbaring di ruang pemulihan
atau ruang transit, dimana hanya perawat yang bisa memonitor. Ketika kondisi
pasien sudah stabil, setelah 8-10 jam pasca operasi, baru pasien diizinkan kembali ke ruang rawat
inap.
Perlu
diingat, ruang rawat di rumah sakit manapun khususnya di pagi hari menjadi
periode super sibuk. Sebentar-bentar
pintu ruang dibuka tutup, dari mulai suster yang mengecek tekanan darah dan
suhu tubuh secara berkala, petugas kebersihan yang menyapu dan mengepel lantai
kamar, petugas pembersih kamar mandi, petugas pembasmi serangga yang mencari
nyamuk dan teman-temannya. Selain petugas yang mengantarkan makanan sesuai
jadwal, atau petugas yang mengantarkan koran. Well, the atmosphere inside the hospital
room is really busy actually.
Riuh kicauan
obrolan orang yang lalu lalang di sekitar ruang rawat yang tidak kedap suara juga
menambah kebisingan, meskipun kita berada dalam ruang rawat sendirian. Jadi yaa
kudu sabar-sabar menghadapi segala situasi yang muncul dalam kondisi tubuh kita
yang relatif lemah atau belum fit. Suasana dalam kamar rawat inap baru terasa
mulai hening setelah pukul tujuh malam.
Sumber: Shutterstock |
Selain
itu, kita perlu memiliki kesabaran ekstra menghadapi proses administrasi yang berbeda di setiap rumah sakit termasuk menemui
karakter yang beraneka ragam. Di rumah sakit manapun ada tipe perawat maupun
staf yang cekatan, ada yang sabar, ada yang tergesa-gesa, ada yang rada lamban.
Tentu berbagai karakter manusia ada dalam setiap profesi apapun tho... Kesabaran
menjadi kuncinya, meskipun dalam pelaksanaannya tak mudah.
Cerita –Cerita Mengenai Operasi Usus Buntu
Sebelum operasi
berlangsung, tentu saya sudah mencari beragam informasi mengenai penyakit radang
usus buntu ini. Dari bertanya ke sana kemari, mencari di internet, mendengar
pengalaman teman atau rekan kerja.
Bertanya ke
kanan dan ke kiri, kok rasanya banyak banget yaa yang pernah menderita radang
usus buntu dan menjalani operasi, dari mulai anak-anak, remaja, hingga orang
dewasa.
Ternyata hal
ini benar adanya. Dokter bedah saya bercerita, kasus radang usus buntu
merupakan kasus nomor satu dari sekian kasus penyakit pasien bedah lainnya.
Kira-kira beginilah cuplikan perbincangan saya dengan dokter bedah
beberapa hari sebelum operasi
berlangsung.
Saya: Dok, kok rasanya banyak banget ya yang pernah sakit usus buntu?Dokter Bedah: Di spesialis bedah, operasi radang usus buntu merupakan kasus terbanyak, dibanding kasus-kasus lain.Saya: Kasus penyakit lain seperti apa saja dok?Dokter Bedah: Misalnya kista ovarium, tumor, hernia
Ya
lagi-lagi kembali ke penyakitnya, karena usus buntu memang seperti “jalan buntu”
kalau ada infeksi, lambat laun akan membengkak. There is no way out
Kesimpulannya
satu, ketika terjadi infeksi atau radang usus buntu, maka jalan satu-satunya yang
terbaik adalah operasi membuang usus buntu tersebut. Bila tidak, ya bisa fatal,
bisa menyebabkan kematian mendadak. Dalam beberapa kasus ada pasien dengan
radang usus buntu akut (dimana sudah terjadi perforasi atau pecah luka di usus
buntunya) maka operasinya akan lebih sulit. Sebab tim dokter harus
“membersihkan luka” yang sudah menyebar ke rongga perut, termasuk waktu rawat
inap yang lebih lama.
Talking about this, I think I have made a right
decision in my life, to run the appendix surgery.
Cerita-cerita
semacam ini memang benar terjadi, bukan mengada-ada. Seorang kerabat saya
bercerita, salah satu rekan kerjanya meninggal dunia mendadak ketika sedang
mengikuti rapat. Usut punya usut, ternyata gara-gara usus buntu yang meradang
pecah seketika sehingga kumannya menyebar ke seluruh tubuhnya, persis seperti
sebuah serangan jantung. Padahal konon
orangnya rajin berolahraga, badannya atletis, suka ikut lomba lari yang
sekarang lagi nge-hits. Sulit dipercaya kan...yaa itu tadi, usus buntu mah gak
bisa diliat dari penampilan doang. Itu kan organ pencernaan dalam, kudu dicek
dengan metode kedokteran, bisa melalui Appendicogram,
USG abdomen oleh dokter radiologi, dan CT Scan.
Terkadang
buat pasien radang usus buntu yang orangnya rada gemuk atau gendut, konon dimana
mungkin sensitivitas terhadap rasa nyeri atau hal aneh dalam perutnya sulit
terasa akibat lapisan lemak yang berlapis-lapis, bukan kue lapis lho..piss ah, seringkali gejala awalnya rancu atau penderita menganggap rasa nyeri sebagai
sakit perut biasa.
A New Life After The Appendix is gone
Satu hal yang
perlu dicatat, saya atau siapapun yang sudah menjalani operasi usus buntu, akan
kehilangan salah satu organ tubuh yang menghasilkan sel leukosit yaitu sel yang
berfungsi untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau melawan infeksi pada tubuh.
Ini artinya saya dan pasien-pasien yang pernah menjalani operasi usus buntu
harus lebih menata makanan apa saja yang dikonsumsi dan pintar-pintar menjaga
kondisi kesehatan.
Kini, saya berusaha
menjalani kesempatan hidup kedua dengan lebih baik lagi, Insya Allah saya akan
lebih memperhatikan kondisi kesehatan tubuh dengan lebih seksama. Tentu, memperbanyak
porsi konsumsi makanan berserat seperti sayur mayur dan buah sesuai anjuran
dokter wajib diikuti.
Sumber: Shutterstock |
Semoga
cerita saya tentang kesehatan kali ini bisa bermanfaat buat teman-teman semua.
Buat yang ingin bertanya lebih jauh, kasih komentar atau kasih support, monggo yaa.
So don’t worry for having a
surgery, if it is necessary
See u
Cepet pulih bu muti,sehat selalu
ReplyDeleteTerimakasih doanya, amien
DeleteGara-gara baca ini aku jadi tau ternyata usus buntu memproduksi leukosit..
ReplyDeleteIya dek Nurul, aku juga baru ngeh setelah selesai operasi. Secara logika, apapun ciptaan Tuhan YME pasti ada manfaatnya khan. Terimakasih atensinya
DeleteDear Mimut , Alhamdulillah ya operasinya sukses,Smoga tdk ada lagi sakit yg menimpa Mimut & Kel Mimut. Trus makasih ya cerita PERJALANAN USUS BUNTU MIMUT, bagi orang seperti saya ini sangat bermanfaat.Salam SEHAT & SEMANGAT
ReplyDeleteDear Mimut , Alhamdulillah ya operasinya sukses,Smoga tdk ada lagi sakit yg menimpa Mimut & Kel Mimut. Trus makasih ya cerita PERJALANAN USUS BUNTU MIMUT, bagi orang seperti saya ini sangat bermanfaat.Salam SEHAT & SEMANGAT
ReplyDeleteTerimakasih doanya, semoga cerita pengalaman saya bisa bermanfaat buat orang banyak, amien
Delete