Bijak bermedsos mungkin terdengar klise di telinga kita akhir-akhir ini. Coba menengok ke belakang, beberapa tahun silam. Di awal tahun 2000an, penggunaan internet mulai berkembang di Indonesia. Perlahan satu per satu, platform media sosial marak digunakan. Media sosial mulai akrab bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Mulai dari Friendster dan Path yang sudah tutup, hingga Facebook platform terpopuler di Indonesia. Lalu diikuti aneka ragam platform lainnya, seperti Whatsapp, Instagram, Twitter. Kini hampir dua dekade berjalan. Jelang penghujung tahun 2019, konon sikap atau perilaku orang menggunakan media sosial belum banyak berubah.
Terlepas dari pandangan pribadi, kepercayaan atau agama yang dianut.
Sebagai pengguna media sosial, saya mengamati masih banyak orang yang saling
kritik tanpa ber-etika. Kalau zaman dulu, istilahnya asal nge-jeplak, atau mungkin
lebih populer dengan sebutan nyinyir di
zaman sekarang. Banyak kritikan atau komentar diunggah tanpa pikir-pikir dulu.
Makanya marak slogan sosialisasi di ruang publik seperti “Think before sharing” atau “Think
before posting”.
Source: Pixabay |
Source: shutterstock |
UU ITE di Indonesia
Tulisan saya ini sama sekali gak bermaksud menggurui siapapun, hanya sebuah ulasan sebagai ungkapan keprihatinan saja. Saya merasa prihatin dengan perkembangan penggunaan media sosial saat ini, apalagi ditengah makin banyaknya masyarakat yang tersandung kasus UU ITE (Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik). Ya, di Indonesia siapapun harus bijak dan bertanggungjawab ketika mengunggah sesuatu di media sosial. Bagaimanapun media sosial milik pribadi sekaligus menjadi ruang publik yang bisa dibaca, dan dilihat semua orang sedunia. Bila dirasa ada pelanggaran, seseorang bisa dilaporkan oleh pihak yang merasa dirugikan atau laporan atas dugaan pencemaran nama baik. Terlepas dari status atau keanggotaan diri kita di suatu organisasi, lembaga, atau institusi. Baik di sektor pemerintahan maupun sektor swasta. Cara kita berinteraksi di media sosial, melekat dengan citra diri kita. Kalau ingat nasihat Ibu, pandai-pandailah membawa diri dimanapun kamu berada nak. Buat orang di zaman sekarang, nasihat semacam ini mungkin agak susah-susah gampang diterapkan. Atau pepatah mulutmu harimaumu mungkin kurang relevan, akan lebih cocok bila diganti menjadi jaga jempolmu atau jarimu harimaumu hehehe. Kira-kira sebagai peribahasa yang bisa menggambarkan bahwa, pentingnya seseorang menjaga sikapnya, atau jarinya saat bermain di media sosial.
Tulisan saya ini sama sekali gak bermaksud menggurui siapapun, hanya sebuah ulasan sebagai ungkapan keprihatinan saja. Saya merasa prihatin dengan perkembangan penggunaan media sosial saat ini, apalagi ditengah makin banyaknya masyarakat yang tersandung kasus UU ITE (Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik). Ya, di Indonesia siapapun harus bijak dan bertanggungjawab ketika mengunggah sesuatu di media sosial. Bagaimanapun media sosial milik pribadi sekaligus menjadi ruang publik yang bisa dibaca, dan dilihat semua orang sedunia. Bila dirasa ada pelanggaran, seseorang bisa dilaporkan oleh pihak yang merasa dirugikan atau laporan atas dugaan pencemaran nama baik. Terlepas dari status atau keanggotaan diri kita di suatu organisasi, lembaga, atau institusi. Baik di sektor pemerintahan maupun sektor swasta. Cara kita berinteraksi di media sosial, melekat dengan citra diri kita. Kalau ingat nasihat Ibu, pandai-pandailah membawa diri dimanapun kamu berada nak. Buat orang di zaman sekarang, nasihat semacam ini mungkin agak susah-susah gampang diterapkan. Atau pepatah mulutmu harimaumu mungkin kurang relevan, akan lebih cocok bila diganti menjadi jaga jempolmu atau jarimu harimaumu hehehe. Kira-kira sebagai peribahasa yang bisa menggambarkan bahwa, pentingnya seseorang menjaga sikapnya, atau jarinya saat bermain di media sosial.
Source: shutterstock |
Semoga saja kita bisa selalu bijak dalam bermedsos. Alias gak gatel
jarinya pengen ikutan komen, atau dikit-dikit kasih komentar. Padahal nih, belum
tentu kita tahu persis masalahnya, atau bahkan kita gak kenal sama sekali
dengan orang yang ramai dikomentari. Istilahnya, jangan asal sekedar ikut
meramaikan. Iya kalau hal yang dikomentarin masih dalam batas wajar, kalau
sudah menyangkut harga diri seseorang atau menjurus ke hal pribadi yang bisa
menyinggung perasaan. Bakal repot ujung-ujungnya. Sudah banyak contoh, kasus
warga biasa maupun orang terkenal yang diproses hukum karena membuat postingan
di media sosial miliknya, dengan konten yang menyinggung pihak lain.
Source: Pixabay |
Santun Menggunakan Media Sosial
Berkaca dari sejumlah kasus perundungan di media sosial yang diduga bisa
menyebabkan seseorang menjadi depresi hingga melakukan hal di luar batas.
Kasus di luar negeri misalnya, kasus kematian artis yang ramai diperbincangkan di media sosial karena
diduga artis mengakhiri hidupnya dipicu perundungan di media sosial. Terus
terang, saya pikir perlu pakar di bidang terkait seperti psikolog atau psikiater untuk membuktikan
secara ilmiah korelasi hal-hal semacam ini. Saya pernah baca juga, ada kasus serupa
dimana seorang remaja di sebuah negara di benua Eropa menjadi depresi karena
foto vulgarnya tersebar di dunia maya. It
happened and happened again. Semoga saja, para pengguna media sosial bisa
lebih berhati-hati dan menggunakan kata yang sewajarnya ketika mengunggah
komentar. Meski kita tak punya niat, prasangka atau tujuan menyudutkan pihak tertentu,
jangan sampai unggahan kita seakan-akan menghakimi seseorang atau menyakiti
hati orang lain. Korelasi antara unggahan netizen di media sosial dan dampaknya terhadap faktor psikis seseorang memang perlu penelitian ilmiah lebih lanjut. Namun, sikap kita yang
mencerminkan tata krama dan santun dalam berperilaku di media sosial,
setidaknya diharapkan bisa mengurangi atau meminimalisir dampak negatif, yang
barangkali bisa muncul di dunia maya. So,
keep it the right way.
It has been a long time, I didn’t write on my blog. Please share your
comment here, then I will visit to your blog too.
Thanks
Heran juga sih. Sekarang ini banyak pengguna sosmed yang suka asal komentar. Gak jarang isi komentarnya negatif. Saling menjelekkan, berkata semaunya, kritik sembarang tempat.
ReplyDeleteMinimal kita bisa menahan diri agar tidak ikut-ikutan terlibat. Kalau bisa juga mengingatkan orang disekitar.
Setuju, lebih baik gak usah ikutan komentar daripada memperkeruh suasana
Deleteiya kita hrs hati2 salah sedikit bisa jadi masalah
ReplyDeleteBener mbak, sebaiknya kita lebih berhati-hati komentar di media sosial
DeleteSyukurnya sy ga terlalu tergantung atau tipe yg bentar" update status ato apalah... Krn kebanyakan think before sharing dan think before posting akhirnya mlhan jarang sharing dan posting saya... Cukup baca dan liat postingan org saja.. Yg bermanfaat di ambil yg alay ya tinggalin 😀
ReplyDeleteSaya juga suka bacain komen yang lucu-lucu, kalau liat komen yang memihak atau yang tendensius mending tinggalin aja
Deleteaku cuma takut jatuhnya fitnah kalo smpe menuliskan hal2 yg sbnrnya aku ga tau pasti kebenarannya kayak apa :(. prinsipku, kalo memang ga tau, lbh baik diam. Tapi seandainya tau, kenapa ga menuliskan dgn kata2 sopan dnan tidak menyakitkan. kadang ga ngerti kenapa orang2 itu mudaah bgt menuliskan kata2 kasar utk org lain :(. Gimana kalo seandainya dia yg dibegitukan.. nth di mana salahnya.. orang tua yg tidak mengajarkan etika sedari kecil, ato dia yg keblinger krn lingkungannya.. :(
ReplyDeleteIyaa fitnah lebih kejam dari Ibukota, mungkin banyak orang yang latah sekedar ikut-ikutan atau terbawa suasana ya
DeleteSepertinya org skrg gada santun2 nya pake medsos,, kita lah mulai utk membuang toxic dr medsos,, kalo cara sih,, puasa medsos paling gak sebulan sekali dlm setahun hehee
ReplyDeletePuasa medsos emang perlu nih, biar pikiran tetap waras hehe
Delete