Wednesday, December 14, 2016

Aku Ingin Berlibur Ke Lombok


Lombok Tujuan Wisata Halal
Wah liburan akhir tahun ini enaknya jalan-jalan kemana yaa. Sudah lama aku tak berlibur bersama keluarga besar. Ingin rasanya membahagiakan orangtua, sambil  mengajak keluarga kakak adikku berwisata ke Lombok. Tau kenapa? ya soalnya Lombok sudah mendapat predikat sebagai tujuan wisata halal. Ya pastilah bagi kami umat muslim, isu halal haram menjadi pertimbangan tersendiri saat hendak berkunjung ke sebuah tempat wisata.
Bagi keluarga kami, sudah menjadi tradisi ketika hendak memutuskan lokasi berlibur, mencari informasi sebanyak-banyaknya khususnya yang terkait makanan halal, dan penginapan syariah yang ada di tempat wisata. #wisatahalallombok #wisatahalallomboksumbawa #halaltourismID #wisatahalalindonesia

Gn Rinjani (sumber: shutterstock)
Keluarga kami tertarik menjadikan Pulau Lombok, provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai tujuan wisata saat liburan sekolah nanti. Alasannya karena Lombok sudah berpredikat sebagai tujuan wisata halal. Lombok memperoleh penghargaan sebagai tujuan wisata halal terbaik di dunia dan tujuan wisata berbulan madu halal terbaik di dunia, dalam ajang anugerah wisata halal di Uni Emirat Arab pada tahun 2015 lalu. #wisatahalallombok #wisatahalallomboksumbawa #halaltourismID #wisatahalalindonesia
Pulau Lombok dikukuhkan sebagai The World Best Halal Tourism Destination dan The World Best Halal Honeymoon Destination dalam ajang The World Halal Travel Summit di Uni Emirat Arab, pada tahun 2015.

Air Terjun Tiu Kelep (sumber: shutterstock)

Predikat tujuan wisata halal cocok banget dengan preferensi keluarga kami, soalnya kami selalu mikir-mikir, timbang sana sini seperti nanti gampang gak yaa kalo mau sholat, terus makanannya dijamin halal gak, arah kiblatnya bagaimana, tempat wudhunya bersih dan memadai gak. Berbicara mengenai bisnis pariwisata halal, tentu menuntut pelaku bisnis untuk menjalankan praktek bisnisnya sesuai prinsip syariah. Merupakan hal mendasar bagi para pelaku usaha,  baik pengusaha restoran, hotel dan usaha pariwisata terkait lainnya untuk memperoleh sertifikasi halal dalam praktek bisnis dan operasional. #wisatahalallombok #wisatahalallomboksumbawa #halaltourismID #wisatahalalindonesia
 
Hotel di Lombok (sumber: shutterstock)
Lombok juga menjadi daerah pertama di Indonesia yang memiliki Peraturan Daerah (Perda) mengenai pariwisata halal sejak 21 Juni 2016. Perda nomor 2 tahun 2016 tentang pariwisata halal mengatur lingkup pariwisata halal meliputi destinasi, pemasaran dan promosi, industri, kelembagaan, pembinaan dan pengawasan, serta pembiayaan. Pengelola tempat wisata halal wajib membangun fasilitas umum untuk mendukung kenyamanan aktivitas wisata halal, seperti tempat ibadah bagi wisatawan muslim, serta fasilitas berwudhu yang memenuhi standar syariah. #wisatahalallombok #wisatahalallomboksumbawa #halaltourismID #wisatahalalindonesia

Industri makanan dan minuman wajib memiliki sertifikasi halal dan menjamin kehalalan proses penyajian hingga menu yang disajikan. Pelaku usaha SPA, sauna dan griya pijat yang halal, wajib menyediakan ruangan perawatan untuk pria dan perempuan secara terpisah yang tidak melanggar syariah, serta memiliki sarana yang memudahkan untuk sholat. #wisatahalallombok #wisatahalallomboksumbawa #halaltourismID #wisatahalalindonesia

Sawah di Senaru (sumber: shutterstock)

Meski berpredikat tujuan wisata halal,  Lombok Sumbawa bukan hanya untuk wisatawan muslim saja lho. Lombok Sumbawa terbuka untuk semua wisatawan. Pariwisata halal khas Lombok merupakan kearifan lokal masyarakat yang mewarnai denyut pariwisata Indonesia.

Wednesday, November 16, 2016

Ibu, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa


Sumber: Shutterstock



Mengenang Jasa Ibu
Mengenang pahlawan, bagiku berarti mengenang almarhumah ibuku yang berpulang tepat pada 10 November 2014, dua tahun yang lalu. Bagiku, sosok seorang ibu tak akan pernah terlupakan dan tak kan pernah tergantikan. Sosok almarhumah ibu yang selalu mendampingi anak-anaknya, mengawasi dan tak bosan menasihati kami. Meskipun terkesan cerewet, bawel, ya itulah tugas seorang ibu. Kini baru aku menyadari, setelah dewasa, menikah dan juga memiliki anak perempuan. Kadang baru kusadari kecerewetan ibuku dilakukan karena beliau sayang padaku, dan ingin menjaga diriku.

Aku jadi teringat saat zaman SMA dulu, namanya anak muda pastilah ingin berkumpul  bersama teman-temannya hingga larut malam, ntah sekedar kongkow, ngobrol ngalor ngidul. Yang jelas almarhum ibuku melarangku untuk menginap di rumah teman, tanpa keperluan mendesak. Pulang malampun diusahakan tidak melewati pukul 12 malam. It’s like a cinderella story hehe...tapi saya percaya di luar sana masih banyak para ibu yang melakukan hal sama bagi anak-anak gadisnya.
Kini zaman berubah, kemajuan teknologi mempermudah anak muda bersosialisasi dan membuat janji dengan teman. Bertemu secara virtual semudah membalik tangan, meski di sisi lain banyak potensi bahaya yang terpendam. Menjadi tantangan tersendiri bagi diriku bagaimana mendidik dan membesarkan anak di zaman modern saat ini.

Dulu, aku sempat merasa sebal kenapa ibuku kerap melarangku melakukan ini dan itu.
Tapi kini aku merasa bersyukur, justru dengan batasan-batasan yang diberikan ibuku, yang mungkin bagi sebagian orang terkesan jadul atau kuno, aku bisa melalui masa-masa remaja dengan ceria. Dan kini setelah aku menjadi seorang ibu, aku berjanji tetap berguru pada almarhumah ibuku, untuk menerapkan beberapa caranya yang terkesan jadul tersebut bagi anak-anakku kelak. Apalagi tantangan kehidupan di zaman sekarang semakin kompleks.

Kebiasaanku menaiki kendaraan umum sejak kecil, diwariskan oleh cara ibuku mendidikku. Sejak aku kecil, ibu sering mengajakku berbelanja sayur mayur dan keperluan lain ke pasar tradisional naik metro mini. Tapi sekarang rute metromini yang biasa kunaiki sudah dihapus, tergilas perubahan zaman seiring munculnya bus transjakarta hehe. Kendaraan pribadi hanya digunakan sesuai keperluan, tergantung urgensi. Pada dasarnya, ibuku mengajari agar aku bisa mandiri, naik kendaraan umum saat bepergian tanpa bergantung kepada orang lain atau harus diantar. Thanks mom

Pada masa SD, ibuku selalu rutin mendampingiku saat belajar, ketika menginjak bangku SMP dan SMA ibuku melatih diriku untuk lebih mandiri. Actually, she’s always be there for me. Ibu juga mengajarkanku untuk berteman dengan semua orang dari berbagai latar belakang. Kebetulan aku bersekolah di SD swasta umum, SMP dan SMA negeri. Jadi, otomatis aku memiliki teman yang relatif beragam. Sebenarnya secara tak langsung, ibuku mengajari dengan sikapnya yang luwes saat berinteraksi dengan penjual sayur, pedagang beras dll, yaa ibuku memberi contoh tanpa banyak menggurui.

Ibuku juga sosok yang sangat peduli dengan kesehatan, jarang jajan dan selalu menasehatiku agar tidak jajan sembarangan. Ibuku penggemar sayur-sayuran, pecel makanan favoritnya menjadi menu sehari-hari. Ibuku juga lebih suka membuat ubi rebus atau pisang rebus, untuk cemilan di sore hari. Jajanan masa kini, seperti burger dan fried chicken, gak pernah disentuh. Pantang dalam kamus ibuku, mengonsumsi makanan junk food. Lagi-lagi nasehat ibu terbukti manjur. Setelah aku pernah sakit dan menjalani operasi usus buntu, barulah aku menyadari apa makna nasihat dan pola makan ibuku. Yup, penyesalan memang selalu datang belakangan bukan...

Satu hal lagi, ibu selalu mengajarkanku agar gemar menabung dan membelanjakan uang sesuai kebutuhan, tidak besar pasak daripada tiang. Semoga aku tetap konsisten menjalankan ajaran ibuku yang satu ini. Maklumlah ibuku dibesarkan di sebuah kota kecil di Jawa Timur, yang jauh dari hiruk pikuk ibukota. Menjalani hidup dengan sederhana menjadi kebiasaan sehari-hari.
Sementara bagiku atau orang-orang yang biasa tinggal di Jakarta, tentu banyak sekali godaan untuk berbelanja hihihi...aneka makanan tersedia di berbagai sudut kota, iklan fashion bertebaran dimana-mana, beragam acara promo digelar setiap pekan. Yaa memang kita harus pintar-pintar mengatur keuangan untuk bertahan hidup di kota besar seperti Jakarta, bukan begitu?

Pertemuan Terakhir
Ibuku juga sosok yang perhatian terhadap cucu-cucunya, saat anak pertamaku masih bayi, ibuku kerap memandikan dan menemani bermain.  Namun ketika anakku yang kedua lahir, Ibu sudah mulai sakit-sakitan, sehingga hanya sesekali saja menemani cucunya bermain.
Singkat cerita, tibalah saatnya aku melepas kepergian ibuku, pertemuan terakhir yang akan selalu kuingat dan kukenang. Saat sakaratul maut menjemput, saat terakhir Ibuku membuka matanya hingga nafasnya lenyap ditelan bumi. 

Thursday, October 27, 2016

Menjadi Dokter...Cita-Cita atau Mimpi?



Dokter sebuah cita-cita mulia
Sebagai orangtua tentu saya pribadi memiliki harapan supaya anak-anak saya, kelak bisa menjadi seorang dokter. Ya seorang dokter, profesi mulia yang menolong orang lain, Insya Allah bisa menjadi berkah di dunia dan di akhirat.

Ilustrasi Mahasiswa Kedokteran (sumber: Shutterstock)

Namun, dewasa ini ternyata menjadi seorang dokter tidak semudah membalik telapak tangan. Semakin maju perkembangan dunia kedokteran, biaya pendidikan dokter justru semakin mahal, bisa dibilang biayanya selangit. Bagaimana tidak, biaya uang pangkal untuk masuk ke sebuah fakultas kedokteran di universitas swasta di Jakarta saja bisa mencapai seratus juta rupiah. Hmmm...besaran uangnya kok bisa buat bayar uang muka pembelian rumah atau mobil yaa... 


Biaya pendidikan dokter selangit
Lalu, bagaimana masa depan dunia kedokteran bila hanya orang-orang yang memiliki uang lebih dari cukup atau strata sosial menengah atas yang bisa menjadi dokter? Bukankah Indonesia masih membutuhkan ribuan dokter untuk disebar di seantero negeri?
Saya jadi sangsi, sebab  menurut informasi beberapa teman yang berprofesi sebagai dokter, menjadi dokter tidak segemerlap yang dibayangkan kebanyakan orang. Seorang dokter justru butuh biaya besar untuk meneruskan pendidikan dokter spesialis.
Saya juga bertanya-tanya, apakah pemerintah sudah mengelola beasiswa bagi calon mahasiswa kedokteran dengan baik? Bagaimana pemerintah memastikan pemerataan pendidikan bagi calon dokter, khususnya bagi keluarga menengah ke bawah.

sumber: Shutterstock

Dulu almarhumah ibu saya adalah seorang dokter umum, alumni sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta, termasuk beberapa kerabat seperti om maupun pakde yang berprofesi sebagai dokter. Jadi, dunia kesehatan lekat dengan kehidupan saya sejak kecil, sayapun sering mendengar cerita-cerita seputar kehidupan dokter. Dulu di tahun 1960an zaman ibu saya menempuh pendidikan kedokteran, biaya pendidikan belum semahal seperti saat ini karena subsidi pemerintah relatif memadai.


Nampaknya, perubahan UU yang mengubah status Universitas Negeri menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara) di awal tahun 2000 membawa sederet konsekuensi, khususnya terhadap sumber pemasukan, pengelolaan keuangan dan penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 1999 tentang pendidikan tinggi dan Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum dianggap sebagai kebebasan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, di bidang akademik dan otonomi keilmuan, termasuk otonomi dalam bidang keuangan. Lalu pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yang mewajibkan pengelolaan perguruan tinggi BHMN dengan pola pengelolaan keuangan BLU (Badan Layanan Umum), ditetapkan sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH).


Problematika layanan kesehatan
Duh pokoknya ruwet deh, kalau mikirin beragam problem dalam dunia kedokteran.
Belum lagi standar dalam pelayanan kesehatan yang tidak seragam antara satu rumah sakit dan rumah sakit lain, termasuk pelayanan di puskesmas. Banyak banget lho yang mesti dibenahi. Sampai kapan yaa kondisi seperti ini berlarut. Bagaimana bangsa Indonesia bisa maju bersaing dengan dokter-dokter asing...yang konon katanya lebih profesional?


Pengalaman pribadi saya saat berobat ke dokter sebuah puskesmas di Jakarta beberapa tahun silam dengan keluhan gangguan pencernaan, juga gak terlalu memuaskan. Memang tarif berobat di puskesmas murah, waktu itu saya bayar hanya 3 ribu rupiah. Di ruang praktek, konsultasi dokter hanya berlangsung 5 menit. Sarannya pun sederhana saja, untuk memperbanyak makan sayur dan buah. Wah, jujur saja..saya kecewa. Oh ternyata seperti ini yaa pelayanan di puskesmas. Mungkin karena disubsidi pemerintah, dokter hanya memperoleh honor yang tak seberapa, ditambah banyak pasien yang mengantre. Rasanya para dokter hanya bertanya mengenai keluhan pasien seadanya supaya pekerjaan mereka cepat selesai. Begitulah kira-kira yang terlintas di benak saya.


Biaya berobat di RS swasta memang relatif lebih mahal. Biasanya ketika berobat ke dokter umum, tarifnya berkisar sekitar 75 hingga 100 ribu rupiah, dan tarif berobat ke dokter spesialis berkisar 120-150 ribu rupiah per kunjungan. Meskipun tarif berobat di RS swasta berbeda-beda, namun hal tersebut belum tentu menjamin kepuasan pasien atas pelayanan dokter.
Begitu pula pelayanan dokter di puskemas daerah atau di wilayah yang agak terpencil. Beberapa tahun lalu saat dinas kantor, saya pernah berkunjung ke sebuah puskesmas di kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Mudah ditebak, fasilitas puskesmas di daerah belum selengkap atau secanggih di ibukota. Dokternya pun kadang hanya satu, dan harus menghadapi aneka penyakit pasien.  Sedih rasanya bila memikirkan fasilitas kesehatan di lokasi terpencil. 

sumber: pasiensehat.com


Saya pernah curhat dengan sahabat saya,  seorang dokter. Sahabat saya bilang dokter itu juga manusia. Dokter pun profesi yang sama dengan profesi lain. Dokter juga pasti akan mengalami kelelahan luar biasa bila bekerja over load. Apalagi dengan sistem BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang belum siap 100%. Jumlah dokter terbatas, namun ‘terpaksa’ memberi pelayanan kesehatan untuk ratusan pasien per hari. Belum lagi masalah anggaran biaya untuk pasien, dalam banyak kasus tidak semua biaya pengobatan ditanggung 100 persen oleh BPJS. Menurut saya, pemerintah seharusnya memberikan porsi anggaran kesehatan yang lebih besar, melalui APBN dan APBD, sehingga pasien yang memang tidak mampu bisa memperoleh pengobatan gratis.


sumber: Shutterstock

Satu hal lagi, ada pemeo di masyarakat bahwa para dokter sekarang relatif mau bekerja di rumah sakit besar supaya cepat ‘balik modal’ karena sudah mengeluarkan biaya pendidikan jutaan rupiah. Ntahlah pameo tersebut benar atau tidak, namun yang jelas menjadi seorang dokter sudah seharusnya bagian dari panggilan jiwa, bukan sekedar mengejar materi.  Saya percaya masih banyak dokter yang memiliki semangat tinggi dan berjuang demi mewujudkan kesehatan bangsa.


Aksi Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Saat memperingati HUT IDI 24 Oktober lalu, para dokter menyuarakan aspirasi mereka. Mereka mengkritisi sistem pendidikan dokter, sistem pelayanan kesehatan serta ketergantungan Indonesia terhadap alat kesehatan maupun obat impor. Aksi para dokter yang tergabung dalam IDI merupakan niat untuk memulai reformasi sistem kesehatan serta reformasi sistem pendidikan kedokteran. Harapannya, agar dokter Indonesia selalu merakyat dan pro rakyat.

Ilustrasi alkes (sumber: Shutterstock)

Menurut para dokter yang melakukan aksi, pemerintah seharusnya tidak berkutat atau membuat program studi yang justru memperpanjang sistem pendidikan dokter. Di sisi lain pemerintah mengklaim penyelenggaraan pendidikan dokter layanan primer bertujuan untuk memperbaiki kualitas layanan kesehatan di puskesmas.
Meskipun saya awam soal ini, menurut saya pemerintah seharusnya membenahi layanan mendasar terlebih dahulu, memperbaiki sistem layanan kesehatan di berbagai rumah sakit maupun puskesmas, serta mendorong produksi alkes di dalam negeri, termasuk memproduksi vaksin secara mandiri. 

Aksi dokter (sumber: IDI)

Jujur nih, saya suka bingung kenapa yaa dunia kedokteran yang sudah maju di Indonesia belum dapat memproduksi vaksin secara mandiri. Vaksin varisela contohnya, sulit sekali memperoleh stoknya dalam 3 tahun terakhir. Kadang saat berobat ke dokter anak, saya sering menanyakan hal ini ke dokternya, tapi dokter pun tak tahu menahu.
Apa iya bangsa Indonesia mau terus-menerus tergantung dengan bangsa lain, mengimpor alkes, mengimpor obat dan vaksin. Belum lagi serbuan dokter asing yang bebas masuk dan berpraktik di dalam negeri. 

Ilustrasi obat (sumber: Shutterstock)

Pemerintah harus lebih waspada terhadap maraknya praktik dokter ilegal. Sebagaimana kita ketahui dalam pemberitaan yang sempat ramai  pada 2014 lalu, bahwa ada klinik kesehatan dengan dokter berkewarganegaraan asing melakukan praktik medis ilegal di kawasan Jakarta Barat.  Praktik dokter ilegal baru terungkap setelah beberapa pasien mengeluh di media sosial.
Contoh tragis lainnya, pada 2015 lalu seorang perempuan diduga meninggal dunia karena malapraktik dokter asing setelah menjalani terapi tulang belakang chiropractic.
Hal-hal tersebut hanya salah satu contoh, mungkin masih banyak praktik ilegal atau malapraktik yang tak terendus di luar sana. Banyak sekali yang harus dibenahi, bagaimana pengawasan pemerintah ditingkatkan terhadap dokter-dokter asing tersebut.

Aksi dokter (sumber: IDI)

Keberhasilan sektor kesehatan adalah tanggung jawab bersama. Negara berkewajiban menjamin kesehatan rakyatnya sesuai amanah UUD 1945 dan UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009.  Ikatan Dokter lndonesia (lDl) sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran, memiliki peran dan tanggung jawab tidak hanya kepada anggotanya, namun juga kepada masyarakat. IDI juga merasa perlu berperan aktif melalui berbagai upaya untuk mewujudkan profesionalisme dokter dalam rangka menghadirkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan pro rakyat. Keberhasilan tugas profesional seorang dokter adalah tanggung jawab bersama. Tidak hanya dibebankan pada profesi dokter tapi juga harus didukung penuh oleh pemangku kebijakan, terutama pemerintah.
Dalam rangka menghadirkan kesehatan dasar yang berkualitas, diperlukan dokter yang bermutu dalam pelayanannya. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari adanya sistem dan proses pendidikan kedokteran yang juga bermutu. 

Mahasiswa kedokteran (sumber: FK UGM)

Pendidikan kedokteran harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, khususnya hal yang terkait dengan mahalnya biaya pendidikan kedokteran yang pada ujungnya berdampak pada mahalnya biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh masyarakat. Akibatnya,  masyarakat miskin semakin sulit mengakses pelayanan kesehatan dengan mudah dan murah. Satu hal yang mendesak dilakukan, segera benahi carut marut dunia kedokteran dan dunia kesehatan di Indonesia, demi kehidupan masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik. Semoga pelayanan kesehatan yang benar-benar pro rakyat, bisa segera terwujud. Perbaikan dunia kesehatan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat di berbagai sektor.  


Last but not least, semoga cita-cita saya menyekolahkan anak-anak di fakultas kedokteran bisa terwujud di masa mendatang :)

See U